Teringat kalau Allah sangat sering mengabulkan apa yang kuminta di setiap sujudku. Dan pada akhirnya, aku berpikir ulang bahwa tak jarang aku melupakan kata “terbaik” di setiap inginku. Ini baru ku sadari ketika aku meninggalkan seragam SMA. (Hadeh, banyak beud waktu yang di siakan?)
Astaghfirullah, begitupun rasa syukur ini terkadang jarang terucap disetiap apa yang telah ku dapatkan, doa yang dikabulkan.
Ketika aku akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, akhirnya aku bisa menyelipkan kata “terbaik menurut Allah” di doaku. Namun masa-masa ini malah menjadi masa tersulit yang pernah kurasakan selama hidup. Ketika semua harus ku perjuangkan. Agama, orangtua, keluarga, prinsip, teman, impianku, semua, semuanya harus kuperjuangkan dan pertahankan.
Subhanallah, lagi-lagi Allah mengabulkan keinginanku untuk dapat bersekolah di perguruan tinggi impianku, dengan jurusan pilihan pertama. Alhamdulillah, artinya pengorbananku tak sia-sia. Allah mendengar doaku, melihat usaha dan perjuanganku. Allahu akbar.. Saat itu aku seakan bermimpi, dengan sujud syukur sesyukur-syukurnya pada Allah. Yang sebelumnya aku sudah putus asa dengan ucapan orang disekitarku yang tak sedikit menyudutkan posisiku, berubah menjadi bersemangat menggebu. Tak henti kuucapkan kata tasbih, tahmid, dan takbir.
“Dan bekerjalah, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang akan melihat pekerjaanmu itu..” (QS. At-Taubah : 105)
And then, what’s the problem?
Sepertinya ‘manusiawi’ adalah alasan pembenaran yang selalu diucapkan manusia. Iya kan? Iya donk! Ngaku deh. ;p
Tahun pertama berada di rumah yang berbeda dengan orangtua merupakan hal sulit yang harus kuhadapi. Basicly, keperluanku dan semua embel-embelku masih sering sekali diurus orangtua. Hehe. Dan di sini, di kosanku, aku harus mengurus diri sendiri. OMG.. 😦
Aku juga harus belajar menjalaninya sendiri. Sendiri diramadhan, beli ini-itu sendiri, manage uang sendiri. higs. T,T (pengen teriak mau pulang ke rumah aja saat itu juga!)
Belum lagi, harus menghadapi suasana baru, yang kebiasaannya berbeda dengan asalku. Bertemu orang-orang yang berbicara dan berkomunikasi dengan logat berbeda, terkadang terdengar kasar di telinga. Ups, yang merasa jangan marah ya! Bukan ingin mempermasalahkan SARA, tapi begitulah yang aku rasakan saat itu. Lalu aku sadar, bahwa inilah istimewanya Indonesia. Seperti itulah makna keberagaman bangsa ini. Bukan harus dikeluhkan, namun harus tetap disyukuri.
Okeh, terlepas dari masalah SARA, memang ada orang yang ketika bicara “semaumu dewe” atau apalah yang nusuk hati, nyelekit. Kadang aku berpikir, nih orang kalau ngomong disaring ke otak dulu apa enggak sih? Kok bisa tega yak bicara pake kata dan sikap kasar gitu? heuw. 😦
Akupun bertemu dengan orang yang terkesan tak peduli denganku, dan sulit mengerti mereka. Hingga untuk berkomunikasipun menjadi susah bagiku.
Lalu, ditahun itu juga aku harus menjalani perihnya menjalani kondisi sakit terberat yang pernah kurasakan tanpa orangtua, dan penggantinya aku harus merepotkan teman-temanku. Untunglah aku memiliki teman-teman dari daerah yang sama dan bersedia membantu dan menemaniku. Tapi, kami tetaplah orang baru di sini, tak mengerti apa-apa, belum terbiasa dengan kondisi seperti ini. Aku hanya minum obat seadanya, dirawat di kosan dengan waktu secukupnya, karena teman-temankupun harus kuliah. Berbeda sekali dengan di rumah, yang biasanya mendapatkan perhatian dan kasih sayang tanpa batas dari orangtua terutama ketika anak-anak mereka sedang sakit.
Namun, aku sungguh-sungguh berterima kasih kepada kalian teman-temanku, kepada pengorbanan kalian untukku. Pengorbanan waktu, perhatian, rasa simpati, dan semua pengorbanan kalian yang tak akan pernah bisa ku balas dengan apapun selain doa. (Ahhaiy! terharu gak euy?) Hehehe.
Itulah keluhanku ditahun pertama aku menjalani hidup berjauhan dengan orangtuaku, temanku, dan tempat kelahiranku. Itulah keluhan yang membuat aku sangat malu untuk kembali memohon, meminta, dan berharap kepada Allah.
Ketika aku berada di sini, di tempat yang berbeda dari sebelumnya, tak sadarkah bahwa inilah permintaan terbaikku pada Allah? Seharusnya aku bersyukur karena memiliki tempat lain untuk berteduh, memiliki orangtua di dunia yang tanpa aku sadari bahwa merekapun kehilangan sosokku di rumah, memiliki orang lain yang lebih baik memperhatikanku, masih banyak orang yang memiliki penyakit lebih parah dariku.
Tak semua orang bisa merasakannya, menikmatinya, mensyukurinya. Dan, alasan manusiawilah yang ku pilih sebagai pembenaranku saat itu.
Astaghfirullah..
Kenapa semua harus kusadari setelah perbincanganku dengan ‘dia’ di teras mushala kampus yang hanya beberapa jam itu? Kenapa harus ditahun kedua? Setahun Ya Allah, setahun sudah ku terlena dengan keluhan atas pilihan hidup yang aku pinta. Hwaaa.. T,T
Disaat aku terus mengeluhpun, Engkau masih mengirimkanku orang yang menjagaku dan menegurku.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahmaan : 16)
Biarlah tahun pertama itu menjadi pelajaran dan cambuk untuk tidak kuulangi. Semoga ku tetap bisa jadi hamba Allah yg tak kufur nikmat. Entah sampai kapan. Akupun tak tahu, apa Allah masih berkenan memberiku kesempatan merasakan usia 19 tahun nanti.
Ya Allah, tetap jaga aku, pikiranku, sikapku, dan hatiku, Ya Rabbul izzati, Ya Rahmatan lil ‘alamin. Amiin Allahumma Amiin..
-ketika ditegur dengan sakit (lagi) dan ketika Allah hadir tanpa syarat disini. Cukup, cukup bagiku Allah..-